
Jakarta – Beritapagi.id Salah satu raksasa industri tekstil Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025. Keputusan ini mengikuti penolakan kasasi yang diajukan perusahaan pada Desember 2024, yang menguatkan status kepailitan Sritex. Akibatnya, lebih dari 10.965 pekerja di empat pabrik Sritex kehilangan pekerjaan mereka, menyisakan dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa bagi industri tekstil nasional.
Keputusan Kepailitan dan Dampaknya
Krisis yang melanda Sritex berawal dari masalah keuangan yang semakin memburuk. Setelah Mahkamah Agung menolak kasasi, perusahaan yang telah berdiri sejak 1966 ini kehilangan kendali atas operasionalnya. Di bawah pengelolaan kurator, Sritex tak lagi mampu membeli bahan baku atau menjual produknya, yang akhirnya mengarah pada penghentian total produksi.
Di tengah keruntuhan ini, pemerintah mencoba untuk mencari solusi melalui koordinasi antara empat kementerian—Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN—untuk mengurangi dampak dari jatuhnya Sritex. Namun, tanpa dukungan finansial yang nyata, nasib ribuan pekerja terombang-ambing, dengan proses pengurusan pesangon dan jaminan sosial yang masih berjalan.
Sejarah Sritex: Dari Kios Kecil Menjadi Raksasa Industri
Sritex, yang dimulai sebagai sebuah kios kecil di Pasar Klewer, Solo, pada tahun 1966, berkembang pesat menjadi salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia. Pada 1978, perusahaan ini mulai membangun pabrik di Sukoharjo dan merambah ke berbagai sektor produksi tekstil, mulai dari benang hingga pakaian jadi.
Keberhasilan Sritex mencapai puncaknya pada 1995, ketika mereka mulai memasok seragam militer, tidak hanya untuk TNI, tetapi juga untuk NATO. Dengan kualitas produk yang diakui internasional, Sritex menjadi pemain utama di pasar ekspor dan menembus lebih dari 100 negara.
Pada 2013, Sritex resmi melantai di Bursa Efek Indonesia, mencatatkan sahamnya dengan kode SRIL. Pada masa kejayaannya, Sritex mempekerjakan lebih dari 50.000 orang, menjadikannya salah satu industri padat karya terbesar di Indonesia.
Krisis Keuangan dan Masalah Eksternal
Namun, pada tahun-tahun terakhir, Sritex mulai terjerat masalah keuangan. Beban utang yang menggunung, terutama setelah pandemi COVID-19, memperburuk situasi. Pasar ekspor melemah, sementara daya beli domestik juga turun. Laporan keuangan pada Maret 2022 mencatatkan total utang perusahaan mencapai 1,62 miliar dolar AS. Meskipun perusahaan berusaha merestrukturisasi utangnya, langkah tersebut hanya memberikan solusi sementara.
Selain masalah internal, kebijakan pemerintah yang memperlonggar impor tekstil turut menambah tekanan pada Sritex. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 mempermudah masuknya produk tekstil impor, membuat produk lokal seperti yang dihasilkan Sritex sulit bersaing di pasar.
Jalur Hukum dan Keputusan Pengadilan
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Semarang memutuskan Sritex pailit setelah salah satu kreditor, PT Indo Bharat Rayon, mengajukan gugatan pembatalan perjanjian perdamaian. Setelah putusan tersebut, seluruh pengelolaan perusahaan diserahkan kepada tim kurator yang ditunjuk oleh pengadilan. Tanpa kendali lagi atas aset-asetnya, Sritex tak lagi dapat membeli bahan baku atau menjalankan operasionalnya.
Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan tersebut, dengan menyatakan bahwa kurator lebih fokus pada likuidasi daripada mencari solusi yang dapat menjaga kelangsungan usaha.
Upaya Pemerintah yang Gagal
Pemerintah Indonesia berusaha keras untuk menyelamatkan Sritex dengan menerjunkan empat kementerian terkait. Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan agar Sritex tetap beroperasi dan menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Namun, meskipun ada upaya koordinasi antar kementerian, pemerintah menegaskan bahwa mereka tidak akan memberikan dana talangan atau bailout kepada perusahaan swasta.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa pemerintah hanya bisa memastikan hak-hak pekerja terpenuhi melalui pesangon dan jaminan sosial, tanpa memberi dukungan finansial langsung. Sayangnya, upaya ini tak mampu mencegah kehancuran Sritex, yang akhirnya terpaksa menutup operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Pengaruh Sritex Terhadap Industri Tekstil Nasional
Keputusan Sritex untuk tutup mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan bagi industri tekstil Indonesia. Banyak pihak, termasuk pengamat ekonomi, menyatakan bahwa keruntuhan Sritex adalah tanda adanya masalah struktural yang lebih dalam dalam sektor ini. A Prasetyantoko, seorang pengamat ekonomi, menilai bahwa kebijakan impor yang memberi kemudahan bagi produk tekstil dari luar negeri turut memperburuk daya saing produk lokal.
Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengungkapkan keprihatinannya, “Jika pabrik sebesar Sritex bisa jatuh, berarti ada sesuatu yang harus kita cermati lebih dalam.”
Penutupan Sritex: Dampak dan Pelajaran untuk Masa Depan
Dengan berakhirnya operasional Sritex, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian mereka. Selain itu, krisis yang menimpa Sritex menjadi cermin bagi masa depan industri tekstil Indonesia. Tanpa adanya perlindungan yang kuat terhadap industri lokal dan kebijakan yang mendukung, sektor tekstil Indonesia bisa terjerumus lebih dalam lagi.
Sritex yang dahulu menjadi kebanggaan, kini tinggal kenangan, meninggalkan dampak besar tidak hanya bagi pekerjanya, tetapi juga bagi seluruh industri tekstil nasional.