
Jakarta, Beritapagi – Para pengusaha di Indonesia kini tengah menghadapi masalah serius terkait maraknya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) di berbagai proyek. Pungli yang jumlahnya bervariasi, bahkan hingga mencapai ratusan juta rupiah, mengharuskan para pengusaha mengeluarkan biaya tambahan dan menyebabkan ketidakpastian dalam berbisnis.
Tindakan premanisme yang dilakukan dengan kedok ormas ini secara tidak langsung merusak iklim investasi di Indonesia. Sejumlah investor, baik asing maupun lokal, mulai mengeluh dan bahkan mengancam akan menarik kembali investasinya jika praktik ini terus dibiarkan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kepatuhan dan Etika Bisnis, Haryara Tambunan, mengungkapkan bahwa praktik premanisme semacam ini sangat merugikan dunia usaha dan bisa mengganggu minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
“Ini adalah masalah serius yang harus segera diselesaikan. Kami sedang berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait, termasuk TNI-Polri, untuk memetakan dan menertibkan ormas-ormas yang melakukan praktik premanisme di sejumlah perusahaan, baik lokal maupun asing, yang sedang membangun pabrik-pabrik baru di Indonesia bersama pemerintah,” jelas Haryara. Pernyataan tersebut disampaikan pada Sabtu (15/3/2025).
Pungli yang Sudah Mendarah Daging
Masalah pungli di Indonesia bukanlah hal baru. Praktik ini sudah berlangsung sejak zaman kerajaan kuno, bahkan menjadi bagian dari budaya yang sudah mengakar di masyarakat. Hal ini menjelaskan mengapa pungli sulit untuk diberantas, dan sering kali dianggap sebagai hal yang wajar, meskipun pada kenyataannya sangat merugikan.
Sejarawan Onghokham dalam bukunya Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003) menjelaskan bahwa akar sejarah pungli ini berasal dari kebiasaan pejabat di kerajaan-kerajaan Indonesia, mulai dari Majapahit hingga Kesultanan Mataram. Pada masa itu, raja-raja tidak memberikan gaji kepada para pejabat, melainkan memberikan tanah atau hak-hak khusus seperti memungut upeti dan bea cukai.
Namun, meskipun pejabat diberi hak tersebut, jumlahnya sering kali tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Akibatnya, para pejabat terpaksa mencari uang tambahan dengan cara menarik biaya dari rakyat, yang pada dasarnya merupakan pungutan liar yang ilegal.
“Staf atau pegawai para pejabat itu juga sedikit banyak memiliki otonomi keuangan. Mereka harus mencari nafkah sendiri dari kedudukannya,” kata Onghokham.
Contoh lainnya adalah pelayan bupati yang sering menerima uang dari orang-orang yang ingin mengurus keperluan tertentu, atau bupati yang sering meminta ‘jatah’ kepada para pedagang di pasar. Ironisnya, dalam beberapa kasus, para pejabat malah lebih kaya dibandingkan dengan rajanya sendiri. Pejabat bisa lebih mewah dalam menjamu raja dibandingkan dengan sang raja itu sendiri.
Sayangnya, meskipun kerajaan-kerajaan kuno telah runtuh dan zaman telah berubah, kebiasaan ini tidak hilang. Sebaliknya, praktik pungli terus menjadi kelaziman yang sulit untuk diubah, karena sudah mendarah daging dalam sistem sosial dan politik Indonesia.